Advertisement
Semarang.Infomasyarakat.com - Belakangan ini, publik ramai membicarakan sejumlah kepala daerah yang datang langsung ke Kementerian Keuangan untuk membahas persoalan pemotongan dana Alokasi Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Fenomena ini menarik karena memperlihatkan dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola keuangan negara yang semakin ketat. Banyak yang bertanya-tanya, apa makna di balik langkah ini, Pada hari selasa ( 07/oktober / 2025 )
"Apakah ini bentuk ketegangan politik antara pusat dan daerah, atau justru upaya mencari titik temu dalam sistem pengelolaan anggaran yang masih belum ideal? Kunjungan para kepala daerah itu tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks pengelolaan dana oleh pemerintah daerah yang menjadi tersendat karena adanya kebijakan dari pemerintah pusat yang dinilai merugikan pemerintah daerah. Dana APBD menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan di daerah, baik melalui Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam situasi ekonomi yang mencekam, defisit meningkat, pendapatan negara menurun, dan kebutuhan belanja yang semakin besar sehingga membuat pemerintah pusat sering kali harus melakukan penyesuaian, salah satunya lewat pemotongan dana transfer ke daerah.
Dari sudut pandang pemerintah pusat, langkah ini berjalan bukan tanpa alasan. Pemerintah pusat harus menjaga stabilitas keuangan negara agar neraca anggaran tetap stabil. Situasi global yang tidak menentu, penurunan harga komoditas, hingga kebutuhan anggaran mendadak untuk penanganan bencana dan program sosial membuat ruang anggaran semakin sempit. Jadi, pemotongan dana sering dianggap sebagai kebijakan yang “tidak menyenangkan tapi perlu”
Demi menjaga keberlanjutan keuangan negara.
Namun, dari sisi daerah, pandangannya tentu berbeda. Pemotongan dana berarti berkurangnya kemampuan mereka untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, infrastruktur, dan pelayanan publik. Kepala daerah yang datang langsung ke Kemenkeu menunjukkan kegelisahan sekaligus tanggung jawab terhadap masyarakat di wilayahnya. Mereka khawatir, pengurangan dana pusat akan berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Maka, wajar jika sebagian memilih untuk turun tangan dan menyampaikan aspirasi secara langsung.
Masalah utama dalam situasi ini sebenarnya bukan hanya soal jumlah dana yang berkurang, tapi juga soal komunikasi dan transparansi. Banyak kepala daerah merasa bahwa keputusan pemotongan dilakukan secara sepihak tanpa diawali dengan dialog yang memadai. Padahal, dalam sistem desentralisasi, hubungan antara pusat dan daerah seharusnya bersifat kolaboratif, bukan sekadar instruksi satu arah. Jika komunikasi lebih terbuka sejak awal, kemungkinan besar kegelisahan ini tidak akan sebesar sekarang.
Data Kemenkeu menunjukkan bahwa pada tahun anggaran 2024, pemotongan dana transfer ke daerah rata-rata sekitar 5%. Angka ini memang tampak kecil, tapi bagi daerah yang sangat bergantung pada dana pusat, dampaknya bisa besar proyek pembangunan tertunda, pelayanan publik terganggu, bahkan berpotensi memicu ketidakpuasan masyarakat. Fakta ini menegaskan bahwa setiap kebijakan anggaran memiliki konsekuensi nyata di lapangan dan tidak bisa hanya dilihat dari sisi efisiensi keuangan negara.
Sebagai mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan publik, saya melihat fenomena ini sebagai gambaran dari dua persoalan besar: pertama, lemahnya koordinasi anggaran antara pusat dan daerah; kedua, minimnya ruang partisipasi daerah dalam proses perumusan kebijakan keuangan nasional. Idealnya, sebelum kebijakan pemotongan diterapkan, pemerintah pusat membuka ruang dialog agar kepala daerah dapat menyesuaikan rencana pembangunan tanpa tergesa-gesa. Sementara itu, pemerintah daerah juga perlu lebih adaptif dan kreatif dalam mengelola anggaran agar tidak terlalu bergantung pada dana transfer pusat.
Ke depan, penyelesaian persoalan ini perlu didasarkan pada transparansi dan kerja sama yang kuat antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat perlu menjelaskan dasar serta tujuan setiap kebijakan anggaran secara transparan, sementara pemerintah daerah harus meningkatkan kualitas perencanaan dan efisiensi belanja publik. Jangan sampai hubungan pusat dan daerah justru terjebak dalam tarik-ulur kepentingan yang menghambat pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Pada akhirnya, kunjungan kepala daerah ke Kemenkeu bukan semata tentang uang, melainkan tentang bagaimana kedua pihak bisa membangun sistem pengelolaan keuangan yang adil, efisien, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Pemotongan dana boleh saja dilakukan, tapi prosesnya harus disertai dialog terbuka, bukan sekadar keputusan sepihak. Sebab, yang dipertaruhkan bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan masa depan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh daerah Indonesia.
Report: yolivia miolin sinaga
Editor : Redaksi